Hukum Berdoa Dengan Bahasa Indonesia Setelah Shalat
Apa hukumnya berdoa dalam shalat dengan bahasa Indonesia (selain bahasa arab)?
Jawab:
Ada beberapa tempat di dalam shalat yang dianjurkan seseorang berdoa di dalamnya, diantaranya adalah ketika sujud dan sebelum salam.
Dan bolehnya berdoa ketika sujud maka hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ، وَهُوَ سَاجِدٌ، فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ»
“Posisi paling dekat antara hamba dengan Rabbnya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah kalian berdoa.” (HR. Muslim No. 4820)
Dan adapun bolehnya berdoa sebelum salam, hal ini berdasarkan Hadits Abdullah bin Mas’ud
ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنَ الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ
“Kemudian ia memilih berdoa dengan apa yang ia hendaki.” (HR. Muslim no. 402)
Dan juga dalam riwayat lain:
ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ، فَيَدْعُو
“Kemudian ia memilih dari doa yang ia sukai, kemudian ia berdoa dengannya.” (HR. Bukhori no. 835)
Bolehkah berdoa dengan selain doa yang ma’tsur (yang datang dari Al-Quran dan hadits) dan dengan selain Bahasa Arab?
Boleh bagi seseorang berdoa di dalam shalatnya dengan doa selain yang datang dari Al-Quran dan hadits, hal ini berdasarkan Hadits Abdullah bin Mas’ud diatas. al-Qostholani rahimahullah berkata :
ثم ليتخير من الدعاء أعجبه، شامل لكل دعاء مأثور وغيره
“(Sabda Nabi) “Kemudian hendaknya ia memilih dari doa yang ia sukai” mencakup seluruh doa yang ma’tsur dan selainnya.” ([1])
Namun jika doanya selain ma’tsuur, dalam artian doa dibuat sendiri, maka apakah boleh dengan selain bahasa Arab?
Ada khilaf di kalangan para ulama akan hal ini.
Pertama : Tidak boleh dan batal shalatnya. Ini adalah pendapat ulama syafiíyyah, sebagaimana dinukil oleh An-Nawawi([2]). Demikian juga ulama Hanafiyah memandang hukumnya haram. ([3])
Kedua : Hukumnya haram kalau tidak diketahui makna penujukannya, dan boleh kalau diketahui maknanya dan penujukannya. Ini adalah pendapat Al-Laqooni dari ulama Malikiyah. ([4])
Ketiga : Hukumnya boleh, dan ini adalah pendapat yang dipahami dari perkatan Ibnu Taimiyyah ([5])
Dan pendapat ketiga (yaitu bolehnya) itulah pendapat yang terkuat, karena tidak ada dalil yang menunjukan keharamannya, sementara dalil datang dengan menujukan bolehnya berdoa secara bebas, sebagaimana dalam sabda Nabi :
ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ، فَيَدْعُو
“Kemudian ia memilih dari doa yang ia sukai, kemudian ia berdoa dengannya.” ([6])
Dan inilah pendapat yang dipilih oleh para ulama al-Lajnah ad-Daaimah. Mereka berkata :
وَيَدْعُو اللهَ تَعَالى فِي صَلاَتِهِ وَفِي غَيْرِ صَلاَتِهِ بِاللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ وَبِغَيْرِهَا مِنَ اللُّغَاتِ عَلَى حَسَبِ مَا يَتَيَسَّرُ لَهُ، وَلاَ تَبْطُلُ صَلاَتُهُ إِذَا دَعَا فِيْهَا بِغَيْرِ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ، وَيَنْبَغِي لَهُ إِذَا دَعَا فِي صَلاَتِهِ أَنْ يَتَحَرَّى مَا ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَدْعِيَةٍ فِي الصَّلاَةِ، وَأَنْ يَجْعَلَهَا فِي مَوَاضِعِهَا مِنْهَا مُقْتَدِيًا فِي ذَلِكَ بِهَدْيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dan seseorang berdoa kepada Allah di dalam shalatnya dan di luar shalatnya dengan menggunakan bahasa Arab atau selain bahasa Arab, sesuai dengan keadaan yang paling mudah menurut dia. Dan ini tidaklah membatalkan shalatnya, ketika dia berdoa dengan selain bahasa Arab. Namun, ketika dia hendak berdoa dalam shalat, selayaknya dia mencari doa yang terdapat dalam hadis yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa doa-doa di dalam shalat.” ([7])
Artikel ini terbit di website dan aplikasi Bekal Islam
Versi web : Panduan Tata Cara Sholat Lengkap
_______
Footnote:
([1]) Irsyaadus Saary li Syarhi Shohih A-Bukhory 2/133
([2]) Adapun berdoa dengan selain Bahasa Arab maka dalam madzhab Syafi’i terdapat perincian, untuk doa yang ma’tsur dan doa yang bukan ma’tsur, adapun yang ma’tsur maka bagi yang tidak mampu berbahasa Arab maka boleh baginya berdoa dengan selain Bahasa arab dengan terjemahnya.
Adapun yang bukan ma’tsur (mengarang doa sendiri), maka jika mengarangnya dengan bahasa Arab maka boleh dibaca di sholat. Adapun jika mengarangnya dengan bahasa selain bahasa Arab maka tidak diperbolehkan bahkan bisa membatalkan shalat.
An-Nawawi berkata:
فِي بَيَانِ مَا يُتَرْجِمُ عَنْهُ بالعجمة وما لا يُتَرْجِمُ : أَمَّا الْفَاتِحَةُ وَغَيْرُهَا مِنْ الْقُرْآنِ فَلَا يَجُوزُ تَرْجَمَتُهُ بِالْعَجَمِيَّةِ بِلَا خِلَافٍ لِأَنَّهُ يُذْهِبُ الْإِعْجَازَ بِخِلَافِ التَّكْبِيرِ وَغَيْرِهِ فَإِنَّهُ لَا إعْجَازَ فِيهِ وَأَمَّا تَكْبِيرَةُ الْإِحْرَامِ وَالتَّشَهُّدُ الْأَخِيرُ وَالصَّلَاةُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ وَعَلَى الْآلِ إذَا أَوْجَبْنَاهَا فَيَجُوزُ تَرْجَمَتُهَا لِلْعَاجِزِ عَنْ الْعَرَبِيَّةِ وَلَا يَجُوزُ لِلْقَادِرِ وَأَمَّا مَا عَدَا الْأَلْفَاظِ الْوَاجِبَةِ فَقِسْمَانِ دُعَاءٌ وَغَيْرُهُ أَمَّا الدُّعَاءُ الْمَأْثُورُ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ أَصَحُّهَا تَجُوزُ التَّرْجَمَةُ لِلْعَاجِزِ عَنْ الْعَرَبِيَّةِ وَلَا تَجُوزُ لِلْقَادِرِ فَإِنْ تُرْجِمَ بَطَلَتْ صَلَاتُهُ وَالثَّانِي تَجُوزُ لِمَنْ يُحْسِنُ الْعَرَبِيَّةَ وَغَيْرِهِ وَالثَّالِثُ لَا تَجُوزُ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا لِعَدَمِ الضَّرُورَةِ إلَيْهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَخْتَرِعَ دَعْوَةً غَيْرَ مَأْثُورَةٍ وَيَأْتِي بها العجمية بِلَا خِلَافٍ وَتَبْطُلُ بِهَا الصَّلَاةُ بِخِلَافِ مَا لَوْ اخْتَرَعَ دَعْوَةً بِالْعَرَبِيَّةِ فَإِنَّهُ يَجُوزُ عِنْدَنَا بِلَا خِلَافٍ وَأَمَّا سَائِرُ الْأَذْكَارِ كَالتَّشَهُّدِ الْأَوَّلِ وَالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ وَالْقُنُوتِ وَالتَّسْبِيحِ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ وَتَكْبِيرَاتِ الِانْتِقَالَاتِ فَإِنْ جَوَّزْنَا الدُّعَاءَ بِالْعَجَمِيَّةِ فَهَذِهِ أَوْلَى وَإِلَّا فَفِي جَوَازِهَا لِلْعَاجِزِ أَوْجُهٌ أَصَحُّهَا يَجُوزُ وَالثَّانِي لَا وَالثَّالِثُ يُتَرْجِمُ لِمَا يُجْبَرُ بِالسُّجُودِ دُونَ غَيْرِهِ وَذَكَرَ صَاحِبُ الْحَاوِي أَنَّهُ إذَا لَمْ يُحْسِنْ الْعَرَبِيَّةَ أَتَى بِكُلِّ الْأَذْكَارِ بِالْعَجَمِيَّةِ وان كان يحسنها أتى بِهَا بِالْعَرَبِيَّةِ فَإِنْ خَالَفَ وَقَالَهَا بِالْفَارِسِيَّةِ فَمَا كَانَ وَاجِبًا كَالتَّشَهُّدِ وَالسَّلَامِ لَمْ يُجْزِهِ وَمَا كَانَ سُنَّةً كَالتَّسْبِيحِ وَالِافْتِتَاحِ أَجْزَأَهُ وَقَدْ أَسَاءَ
“Tentang penjelasan apa yang boleh diterjemahkan ke dalam Bahasa non arab dan apa yang tidak boleh:
- Adapun Al-Fatihah dan selainnya dari al-Quran maka tidak boleh diterjemahkan ke Bahasa non Arab. Tidak ada perselisihan dalam hal ini, karena hal ini dapat menghilangkan mukjizat al-Quran, berbeda dengan takbir dan yang lainnya karena tidak ada mukjizat di dalamnya.
- Adapun takbirotul Ihram, tasyahhud akhir, dan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya pada tasyahhud akhir jika kita katakan hukumnya wajib, maka boleh diterjemah ke dalam bahasa selain Arab bagi orang yang tidak mampu berbahasa Arab dan tidak boleh bagi orang yang mampu berbahasa Arab.
Adapun selain lafaz-lafaz yang wajib maka ada dua bagian: doa dan selain doa (dzikir):
- Adapun doa yang ma’tsur maka ada tiga pendapat,
- Yang (pertama), dan ini pendapat yang paling benar : adalah boleh bagi orang yang tidak mampu berbahasa Arab untuk membaca dengan terjemahan, dan tidak boleh bagi orang yang mampu berbahasa Arab membaca doa tersebut dengan terjemah, jika ia membaca dengan terjemah maka shalatnya batal,
- Kedua: boleh bagi orang yang mampu berbahasa arab dan orang yang tidak mampu,
- ketiga: tidak boleh untuk keduanya karena tidak adanya kebutuhan yang mendesak.
- (Adapun doa yang tidak ma’tsur) Dan tidak boleh untuk membuat sebuah doa yang bukan ma’tsur dan membacanya dengan selain Bahasa Arab tanpa adanya khilaf, dan batal shalatnya dengan membaca doa yang bukan ma’tsur dengan selain Bahasa Arab, berbeda jika seseorang membuat doa dengan Bahasa Arab maka hal ini diperbolehkan menurut madzhab kami tanpa adanya perselisihan
- Adapun semua dzikir-dzikir yang lain seperti tasyahhud awal, shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada tasyahhud awal, qunut, tasbih ketika ruku’ dan sujud, dan takbiratul intiqal maka seandainya kita membolehkan berdoa dengan selain bahasa Arab maka dalam masalah ini lebih utama untuk dibolehkan.
Jika tidak membolehkan berdoa dengan selain bahasa Arab, maka dalam pembolehannya untuk orang yang tidak mampu berbahasa arab ada beberapa pendapat. Yang paling benar adalah boleh, dan pendapat kedua: tidak boleh, dan pendapat ketiga: diterjemahkan untuk dizkir yang jika ditinggalkan bisa ditambal dengan sujud sahwi, adapun yang tidak bisa ditambal maka tidak boleh.
Dan pengarang kita al-Hawy mengatakan: jika seseorang tidak mampu berbahasa Arab maka boleh baginya untuk membaca setiap dzikir dengan selain Bahasa Arab, dan jika orang yang mampu berbahasa Arab maka harus dengan Bahasa Arab, jika ia menyelisihi dan mengucapkannya dengan Bahasa Persia, maka jika itu dzikir yang wajib seperti Tasyahhud dan salam maka shalatnya tidak sah, dan adapun jika itu adalah dzikir yang sunnah seperti tasbih dan iftitah maka shalatnya sah akan tetapi dia telah melakukan hal yang buruk.” (Al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab 3/299-301)
([3]) Ulama hanafiyyah mengatakan bahwa berdoa dengan selain Bahasa Arab maka hukumnya haram ketika didalam shalat, dan makruh ketika diluar shalat, berkata Ibnu ‘Abidin:
وَلَا يَبْعُدُ أَنْ يَكُونَ الدُّعَاءُ بِالْفَارِسِيَّةِ مَكْرُوهًا تَحْرِيمًا فِي الصَّلَاةِ وَتَنْزِيهًا خَارِجَهَا
“San bukanlah perkara yang salah pendapat bahwa berdoa dengan Bahasa Persia hukumnya haram di dalam shalat, dan makruh di luar shalat.” (Ad-Durrul Mukhtar Wa Hasyiyatu Ibni ‘Abidin 1/521)
([4]) Ibnu Abidin menukilkan pendapat mereka:
(قَوْلُهُ وَحَرُمَ بِغَيْرِهَا) أَقُولُ: نَقَلَهُ فِي النَّهْرِ عَنْ الْإِمَامِ الْقَرَافِيِّ الْمَالِكِيِّ مُعَلِّلًا بِاحْتِمَالِهِ عَلَى مَا يُنَافِي التَّعْظِيمَ. ثُمَّ رَأَيْت الْعَلَّامَةَ اللَّقَانِيَّ الْمَالِكِيَّ نَقَلَ فِي شَرْحِهِ الْكَبِيرِ عَلَى مَنْظُومَتِهِ الْمُسَمَّاةِ جَوْهَرَةِ التَّوْحِيدِ كَلَامَ الْقَرَافِيِّ، وَقَيَّدَ الْأَعْجَمِيَّةَ بِالْمَجْهُولَةِ الْمَدْلُولِ أَخْذًا مِنْ تَعْلِيلِهِ بِجَوَازِ اشْتِمَالِهَا عَلَى مَا يُنَافِي جَلَالَ الرُّبُوبِيَّةِ، ثُمَّ قَالَ: وَاحْتَرَزْنَا بِذَلِكَ عَمَّا إذَا عُلِمَ مَدْلُولُهَا، فَيَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ مُطْلَقًا فِي الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا
“dan ucapannya (dan haram berdoa dengan selain Bahasa Arab) aku katakan: ini dinukilkan dalam kitab “an-Nahr” dari Imam al-Qarafy al-Maliky dengan memberikan ta’lil ada kemungkinan penafian terhadap keagungan Allah, kemudian aku melihat al-‘Allamah Al-Laqony al-Maliky menukilkan ucapan al-Qarafy dalam kitab syarahnya terhadap manzhumahnya yang bernama “jauharratut tauhid”, dan membatasi dari maksud dengan a’jamiyyah yaitu yang tidak diketahui dilalahnya, hal ini diambil dari ta’lilnya ada kemungkinan penafian keagungan Allah, kemudian ia berkata: dan kami batasi dengan hal tersebut untuk mengecualikan dari sesuatu yang diketahui dilalahnya, maka boleh digunakan secara mutlak di dalam shalat maupun di luar shalat.” (Ad-Durrul Mukhtar Wa Hasyiyatu Ibni ‘Abidin 1/521)
([5]) Ibnu Taimiyyah berkata :
وَالدُّعَاءُ يَجُوزُ بِالْعَرَبِيَّةِ وَبِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ، وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ يَعْلَمُ قَصْدَ الدَّاعِي وَمُرَادَهُ، وَإِنْ لَمْ يُقَوِّمْ لِسَانَهُ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ ضَجِيجَ الْأَصْوَاتِ بِاخْتِلَافِ اللُّغَاتِ عَلَى تَنَوُّعِ الْحَاجَاتِ.
Dan berdoa boleh dengan Bahasa Arab dan selain Bahasa Arab, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha mengetahui tujuan dan keinginan seorang yang berdoa walaupun lidahnya tergelincir maka sesungguhnya Ia Maha mengetahui bermacam suara dengan Bahasa-bahasa yang berbeda dan dengan kebutuhan yang bermacam-macam.” (Al-Fatawa Al-Kubra 2/424)
Meskipun perkataan beliau masih umum yang ada kemungkinan yang dimaksud adalah untuk doa yang berada diluar shalat